Oleh : Mahbub Alwathoni
(Artikel ini sebelumnya di muat di Harian Solo Post 12/3/2017)
Kamis, tanggal 7 – 8 April 2016 yang lalu John Dewey Society sebuah organisasi yang fokus pada filsafat pendidikan, menyelenggarakan konferensi tentang demokrasi dan pendidikan (The Centennial Conference on Democracy and Education) di Washington DC, Amerika Serikat. Tujuh akademisi dari beberapa universitas terkemuka dunia membahas pemikiran beberapa tokoh yang dianggap memiliki kontribusi besar dan brillian terhadap dunia pendidikan dan demokrasi. Diantara tokoh yang dibahas adalah John Dewey (1859 – 1952), Confucius (551 – 479 B.C), Mahatma Gandhi (1869 – 1948), Ki Hadjar Dewantara (1889 – 1959), Tsunesaburo Makiguchi (1871 – 1944), dan beberapa tokoh lainnya. Suatu kebanggaan, Ibu pertiwi pernah melahirkan putra terbaiknya dalam dunia pendidikan yang gagasannya menarik minat para akademisi didunia.
(Artikel ini sebelumnya di muat di Harian Solo Post 12/3/2017)
Kamis, tanggal 7 – 8 April 2016 yang lalu John Dewey Society sebuah organisasi yang fokus pada filsafat pendidikan, menyelenggarakan konferensi tentang demokrasi dan pendidikan (The Centennial Conference on Democracy and Education) di Washington DC, Amerika Serikat. Tujuh akademisi dari beberapa universitas terkemuka dunia membahas pemikiran beberapa tokoh yang dianggap memiliki kontribusi besar dan brillian terhadap dunia pendidikan dan demokrasi. Diantara tokoh yang dibahas adalah John Dewey (1859 – 1952), Confucius (551 – 479 B.C), Mahatma Gandhi (1869 – 1948), Ki Hadjar Dewantara (1889 – 1959), Tsunesaburo Makiguchi (1871 – 1944), dan beberapa tokoh lainnya. Suatu kebanggaan, Ibu pertiwi pernah melahirkan putra terbaiknya dalam dunia pendidikan yang gagasannya menarik minat para akademisi didunia.
Indonesia memiliki pemikir hebat seperti Ki Hadjar Dewantara,
konsep pembelajaran yang pernah ia tulis telah banyak diterjemahkan dalam
berbagai bahasa. Tidak berlebihan, jika
ide dan gagasan dari Ki Hadjar Dewantara telah memposisikan dirinya sejajar
dengan tokoh-tokoh terkenal pendidikan dunia, seperti John Dewey, Jean Piaget,
Lev Vygotsky, atau Jerume Brunner. Rasa kebanggaan ini, karena memiliki tokoh
sehebat Ki Hadjar Dewantara semestinya diikuti dengan mengupas segala ide gagasan
yang pernah tertulis, tertuang, membahas, dan mengembangkannya. Namun kenyataannya, masih sedikit para
praktisi dan peneliti pendidikan tanah air yang enggan menggunakan ide-ide besar Ki Hadjar Dewantara sebagai sitasi, atau
lebih-lebih dijadikan sebagai kerangka kerja (frame work) dalam mengembangkan
model atau desain pembelajaran.
Jurnal-jurnal penelitian pendidikan yang tersebar didalam negeri, masih
banyak dihiasi pemikiran tokoh-tokoh lain yang mungkin saja kurang cocok dengan
sosio – kultur di tanah air. Sementara, pemikiran Ki Hadjar Dewantara penuh dengan
makna, bersayap spiritual dan indigenous (merujuk pada keaslian/khas kultur
Indonesia). Sebagian besar masyarakat
terpelajar di tanah air, selama ini masih mengenal sosok Ki Hadjar Dewantara
sebagai pahlawan pergerakan nasional, namun terlupakan atau memang belum
mengerti ide-ide besar pendidikan yang tersimpan pada diri seorang Ki Hadjar
Dewantara.
Tanggal 2 Mei 2016 adalah hari kelahiran sang maestro pendidikan Ki
Hadjar Dewantara, yang akhirnya diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional. Hari kelahirannya seyogianya bukan hanya dikenang
karena kapasitasnya sebagai pahlawan nasional, namun yang lebih penting adalah
dengan mengejawantahkan pikiran-pikirannya pada dunia pendidikan tanah air.
Konsep Ki Hadjar Dewantara yang sangat relevan dalam dunia
pendidikan, dan akhirnya dikenal sebagai semboyan Ki Hadjar Dewantara adalah, “Tut Wuri Handayani” (dari belakang
memberikan dorongan dan arahan), “Ing
Ngarsa Sung Tulada” (di depan memberi keteladanan), dan “Ing Madya Mangun Karsa” (di tengah
menciptakan peluang untuk berprakarsa).
Tiga semboyan tersebut jika di implementasikan oleh para pendidik (guru
dan dosen), lahirlah guru-guru ideal,
guru yang menyejukkan, guru yang mendamaikan, guru yang mencerahkan, ibarat
pelita yang memberikan penerangan kepada lingkungan sekitarnya.
Guru dengan sikap “Tut Wuri
Handayani”, pada dasarnya guru telah menerapkan pendekatan pendidikan
modern yakni Student Centered Learning
(pembelajaran yang berpusat pada siswa), memberikan dorongan, arahan, membuat
keterkaitan pembelajaran yang lebih bermakna, dan menstimulasi siswa agar
menemukan sendiri cara bagaimana belajar.
Dampak pengiring dari semboyan ini, akan mendorong guru untuk selalu meningkatkan
ketrampilan pedagogiknya melalui kegiatan penelitian tindakan kelas (action
research) dan pengembangan keprofesian lainnya.
Guru dengan sikap “Ing Ngarso
Sung Tulada”, adalah stimulan untuk peserta didiknya agar bersikap santun
seperti yang dicontohkan oleh gurunya. Implementasi
dari semboyan ini identik dengan pendekatan profetik (pendekatan ke-Nabian). Pendekatan profetik adalah dengan memberi contoh
keteladanan seperti para Nabi dihadapan umatnya, Guru pada akhirnya berhasil memberikan dampak sosial
yang baik kepada masyarakat terlebih kepada murid-muridnya. Peran guru bukan hanya memberi dampak
langsung (instructional effect) kepada perserta didiknya, namun memberi juga dampak
pengiring (nurturant effect) berupa sikap dan keteladanan. Diantara bentuk keteladanan seorang guru yang
cukup penting sekarang ini adalah kesederhanaan
dan sikap rendah hati. Sebagian besar
guru-guru saat ini memang kondisinya “lebih baik” sebelum ada tunjangan
sertifikasi guru, perhatian guru tidak
lagi tersedot oleh upaya-upaya mempertahankan hidup. Namun demikian, tidak patut sepertinya jika
guru pada akhirnya terbawa arus hedonisme.
Gaji dengan standar tinggi sudah selayaknya digunakan modal untuk
pengembangan diri. Ada sebuah pemeo,
“Orang tua boleh salah, tetapi guru tidak boleh salah”, menunjukkan begitu
beratnya profesi seorang guru, dan begitu mulianya seorang guru yang
menjalankan tugas sesuai kode etik keguruan.
Semboyan yang ketiga “Ing
Madya Mangun Karsa”, ini dapat di
ilustrasikan seperti sang maha guru
Socrates yang mendidik murid-muridnya, ia duduk diatas batu dengan pakaian
sederhana yang dikelilingi oleh murid-muridnya, memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk bertanya, membantu sepenuh hati terhadap setiap persoalan,
mendorong dan memotivasi murid-muridnya untuk berkarya dan membantu dalam melahirkan
ide/gagasan. Harapan semboyan ini adalah
lahirnya murid-murid yang memiliki ketrampilan berpikir kritis (critical
thinking). Guru akhirnya dituntut
memiliki kompetensi keilmuan dan kecerdasan sosial yang tinggi dalam lingkungan
sekolah maupun di masyarakat, dan
humanistik adalah profil utama seorang guru ketika ia harus hadir
ditengah-tengah masyarakat.
Akhir kata, selamat ulang tahun kepada pemikir hebat
Ki Hadjar Dewantara, Selamat Hari
Pendidikan Nasional kepada guru-guru hebat di tanah air. “Guru yang hebat bukanlah guru yang hanya berhasil menjadikan muridnya
pintar seperti dirinya, tetapi lebih dari itu, guru yang hebat adalah guru yang
berhasil membantu muridnya menemukan
dirinya sendiri”. (Mahbub Alwathoni. Artikel ini sebelumnya dimuat di Koran SoloPos 12 Maret 2017)Keyword : MA Negeri 2 Grobogan | Hari Pendidikan Nasional | Ki Hajar Dewantoro | Opini SoloPos |