DAFTAR LINK PENTING

Rabu, 27 Maret 2019

MENGENANG SANG MAESTRO PENDIDIKAN

Oleh : Mahbub Alwathoni
(Artikel ini sebelumnya di muat di Harian Solo Post 12/3/2017)

Kamis, tanggal 7 – 8 April 2016 yang lalu John Dewey Society sebuah organisasi  yang fokus pada filsafat pendidikan, menyelenggarakan konferensi tentang demokrasi dan pendidikan (The Centennial Conference on Democracy and Education) di Washington DC, Amerika Serikat.  Tujuh akademisi dari beberapa universitas terkemuka dunia membahas pemikiran beberapa tokoh yang dianggap memiliki kontribusi besar dan brillian terhadap dunia pendidikan dan demokrasi.  Diantara tokoh yang dibahas adalah John Dewey (1859 – 1952), Confucius (551 – 479 B.C), Mahatma Gandhi (1869 – 1948), Ki Hadjar Dewantara (1889 – 1959), Tsunesaburo Makiguchi (1871 – 1944), dan beberapa tokoh lainnya.  Suatu kebanggaan, Ibu pertiwi  pernah melahirkan putra terbaiknya dalam dunia pendidikan yang gagasannya menarik minat para akademisi didunia.

Indonesia memiliki pemikir hebat seperti Ki Hadjar Dewantara, konsep pembelajaran yang pernah ia tulis telah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa.  Tidak berlebihan, jika ide dan gagasan dari Ki Hadjar Dewantara telah memposisikan dirinya sejajar dengan tokoh-tokoh terkenal pendidikan dunia, seperti John Dewey, Jean Piaget, Lev Vygotsky,  atau Jerume Brunner.  Rasa kebanggaan ini, karena memiliki tokoh sehebat Ki Hadjar Dewantara semestinya diikuti dengan mengupas segala ide gagasan yang pernah tertulis, tertuang, membahas, dan  mengembangkannya.  Namun kenyataannya, masih sedikit para praktisi dan peneliti pendidikan tanah air yang enggan menggunakan ide-ide  besar Ki Hadjar Dewantara sebagai sitasi, atau lebih-lebih dijadikan sebagai kerangka kerja (frame work) dalam mengembangkan model atau desain pembelajaran.  Jurnal-jurnal penelitian pendidikan yang tersebar didalam negeri, masih banyak dihiasi pemikiran tokoh-tokoh lain yang mungkin saja kurang cocok dengan sosio – kultur di tanah air.  Sementara,  pemikiran Ki Hadjar Dewantara penuh dengan makna, bersayap spiritual dan indigenous (merujuk pada keaslian/khas kultur Indonesia).  Sebagian besar masyarakat terpelajar di tanah air, selama ini masih mengenal sosok Ki Hadjar Dewantara sebagai pahlawan pergerakan nasional, namun terlupakan atau memang belum mengerti ide-ide besar pendidikan yang tersimpan pada diri seorang Ki Hadjar Dewantara.
Tanggal 2 Mei 2016 adalah hari kelahiran sang maestro pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yang akhirnya diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional.  Hari kelahirannya seyogianya bukan hanya dikenang karena kapasitasnya sebagai pahlawan nasional, namun yang lebih penting adalah dengan mengejawantahkan pikiran-pikirannya pada dunia pendidikan tanah air. 
Konsep Ki Hadjar Dewantara yang sangat relevan dalam dunia pendidikan, dan akhirnya dikenal sebagai semboyan Ki Hadjar Dewantara adalah, “Tut Wuri Handayani” (dari belakang memberikan dorongan dan arahan), “Ing Ngarsa Sung Tulada” (di depan memberi keteladanan), dan “Ing Madya Mangun Karsa” (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa).  Tiga semboyan tersebut jika di implementasikan oleh para pendidik (guru dan dosen), lahirlah  guru-guru ideal, guru yang menyejukkan, guru yang mendamaikan, guru yang mencerahkan, ibarat pelita yang memberikan penerangan kepada lingkungan sekitarnya.
Guru dengan sikap “Tut Wuri Handayani”, pada dasarnya guru telah menerapkan pendekatan pendidikan modern yakni Student Centered Learning (pembelajaran yang berpusat pada siswa), memberikan dorongan, arahan, membuat keterkaitan pembelajaran yang lebih bermakna, dan menstimulasi siswa agar menemukan sendiri cara bagaimana belajar.  Dampak pengiring dari semboyan ini, akan mendorong guru untuk selalu meningkatkan ketrampilan pedagogiknya melalui kegiatan penelitian tindakan kelas (action research) dan pengembangan keprofesian lainnya. 
Guru dengan sikap “Ing Ngarso Sung Tulada”, adalah stimulan untuk peserta didiknya agar bersikap santun seperti yang dicontohkan oleh gurunya.  Implementasi dari semboyan ini identik dengan pendekatan profetik (pendekatan ke-Nabian).  Pendekatan profetik adalah dengan memberi contoh keteladanan seperti para Nabi dihadapan umatnya,  Guru pada akhirnya berhasil memberikan dampak sosial yang baik kepada masyarakat terlebih kepada murid-muridnya.  Peran guru bukan hanya memberi dampak langsung (instructional effect) kepada perserta didiknya, namun memberi juga dampak pengiring (nurturant effect) berupa sikap dan keteladanan.  Diantara bentuk keteladanan seorang guru yang cukup penting sekarang ini adalah  kesederhanaan dan sikap rendah hati.  Sebagian besar guru-guru saat ini memang kondisinya “lebih baik” sebelum ada tunjangan sertifikasi guru,  perhatian guru tidak lagi tersedot oleh upaya-upaya  mempertahankan hidup.  Namun demikian, tidak patut sepertinya jika guru pada akhirnya terbawa arus hedonisme.  Gaji dengan standar tinggi sudah selayaknya digunakan modal untuk pengembangan diri.  Ada sebuah pemeo, “Orang tua boleh salah, tetapi guru tidak boleh salah”, menunjukkan begitu beratnya profesi seorang guru, dan begitu mulianya seorang guru yang menjalankan tugas sesuai kode etik keguruan.
Semboyan yang ketiga “Ing Madya Mangun Karsa”,  ini dapat di ilustrasikan seperti sang  maha guru Socrates yang mendidik murid-muridnya, ia duduk diatas batu dengan pakaian sederhana yang dikelilingi oleh murid-muridnya, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bertanya, membantu sepenuh hati terhadap setiap persoalan, mendorong dan memotivasi murid-muridnya untuk berkarya dan membantu dalam melahirkan ide/gagasan.  Harapan semboyan ini adalah lahirnya murid-murid yang memiliki ketrampilan berpikir kritis (critical thinking).  Guru akhirnya dituntut memiliki kompetensi keilmuan dan kecerdasan sosial yang tinggi dalam lingkungan sekolah maupun di masyarakat,  dan humanistik adalah profil utama seorang guru ketika ia harus hadir ditengah-tengah masyarakat.
Akhir kata, selamat ulang tahun kepada pemikir hebat Ki Hadjar Dewantara,  Selamat Hari Pendidikan Nasional kepada guru-guru hebat di tanah air. “Guru yang hebat bukanlah guru yang hanya berhasil menjadikan muridnya pintar seperti dirinya, tetapi lebih dari itu, guru yang hebat adalah guru yang berhasil membantu muridnya  menemukan dirinya sendiri”. (Mahbub Alwathoni. Artikel ini sebelumnya dimuat di Koran SoloPos 12 Maret 2017)

Keyword : MA Negeri 2 Grobogan | Hari Pendidikan Nasional | Ki Hajar Dewantoro | Opini SoloPos |